Thursday, November 22, 2012

Prolog


Sabtu, 5 Mei 2007

From: Kayla.Maharani@gmail.com
To: Regismachdy@yahoo.com

Subject: Berdikari

“Bisakah kita tidak berdialog lagi?”
Maaf, ada banyak hal yang ingin saya ketik. Awalnya, saya ingin berputar-putar. Tetapi saya sadar, sudah terlalu sering merumitkan Kakak dengan bahasa saya. Seluruh kalimat yang tertuliskan setelah ini adalah segala apa yang saya rasakan dalam hidup setelah ‘pertemuan’ dengan Kakak. Tetapi maaf, pada akhirnya, saya mengcopy-paste inti tulisan yang tadinya berada di bagian paling bawah, menjadi tulisan yang berada di bagian paling atas. Saya ingin semuanya jelas. Dan tidak ada lagi kesalahpahaman diantara kita.
Surat kali ini tidak begitu panjang. Saya sudah teramat sering mengirimkan Kakak surat yang panjang. Saya pun tidak ingin mengulang tangisan panjang di dalam kamar setiap kali mengirim ataupun membaca surat dari Kakak. Saya benar-benar ingin berubah. Semoga surat ini menjadi rantai janji yang mengikat jantung saya agar benar-benar mematuhi apa yang hati saya inginkan.
Sekali lagi, dan beribu kali pun, saya tidak akan pernah bosan untuk berterima kasih pada Kakak. Untuk kesediaan meluangkan waktu teramat banyak untuk membaca dan membalas seluruh surat saya.
Kakak adalah orang pertama yang membaca seluruh puisi saya. Seluruh kegundahan yang selama ini saya simpan sendiri. Seluruh keinginan, asa, mimpi, harapan, dan cita-cita yang terpendam dalam hati yang terdalam. Jarang sekali saya berani membicarakan masa depan kepada orang lain. Seperti yang Kakak tahu, masa depan saya sudah ‘pasti’. Kakaklah satu-satunya orang yang memberi saya kebebasan bersuara. Membantu saya dengan cara yang tidak Kakak sadari, untuk berani melawan takdir dan sesekali membantah perintah orang tua danTuhan. Sungguh, saya menemukan kebebasan.
Dan Kakak jualah orang pertama yang mengizinkan saya belajar dari semua puisi, pikiran, dan pengalaman Kakak yang teramat berharga namun Kakak kerdilkan sendiri. percayalah, engkaulah manusia dengan pikiran paling merdeka yang pernah saya temui selama ini. Engkaulah perangkai kata terindah yang mampu memberi saya energi untuk menepis garis yang telah tertulis. Engkaulah manusia dengan pengalaman hidup luar biasa di usia yang masih belia, sehingga tertempa menjadi manusia yang sarat akan kebermaknaan hidup.
          Sungguh, tanpa Kakak, saya masih hanya boneka patung yang digerakkan melalui tali-temali ‘para penguasa’ sehingga tidak memiliki arti tersendiri dalam kehidupan. Saya adalah reinkarnasi Kartini dalam kesempitan paradigma. Saya adalah Siti Nurbaya dalam kesempitan pemahaman budaya. Dan kini, saya akan bermetamorfosa menjadi wanita dewasa yang bertanggung jawab atas kehidupannya, cita-citanya. Sayalah yang akan menanggung dan menunggangi diri saya sendiri. Selamanya.
          Terimakasih, untuk segala puisi yang Kakak berikan pada saya. Biarpun terkadang Kakak hanya mengirimi saya berupa satu paragraf surat tidak niat untuk membalas curahan saya yang berlembar-lembar, atau bahkan hanya satu kalimat yang terkadang membuat saya sesenggukan sendirian dalam kamar hingga tertidur karena kelelahan menangis, tergelak tawa, tersenyum kecil, atau ingin membanting semua barang dalam kamar. Bagi saya, semua kata-kata Kakak adalah puisi sekaligus petuah yang murni, jujur, dan tulus. Satu hal yang paling saya harapkan ialah; semoga semua nasihat dari Kakak bukan hanya ditujukan pada saya, namun juga berbalik untuk diri Kakak sendiri. Ya, saya percaya, bahwa sejatinya menasihati orang lain adalah menasihati diri sendiri dua kali. Saya ingin Kakak bisa melumat semua nasihat yang Kakak berikan pada saya, untuk diri Kakak sendiri.

Kak, saya ingin mengatakan pada Kakak bahwa kelak,
Saya bukan lagi lilin yang hanya menerangi hati orang lain, 
namun juga akan menyinari hati sendiri.
Saya pun bukan lagi pohon yang hanya kokoh menghadapi masalah, 
namun juga mampu menyelesaikan masalah.
Saya bukan lagi bumi tempat segala kesedihan terjadi. 
Saya akan melihat anak-anak yang berlari riang mengejar layang.
Dan saya, bukan lagi piano yang hanya termangu bisu saat tak ada pianis yang menjentikan jarinya. 
Saya adalah piano yang dapat memainkan tutsnya sendiri, menghibur banyak manusia.
Dan saya pun, telah berhasil menjadi diri sendiri.
Masih ingat puisi Kakak sendiri tentang ini, kan?
Dan saya lebih yakin, Kakak sudah mencapai kesejatian diri Kakak.
Suatu saat nanti.

          Sekali lagi, dua kali lagi, seribu kali lagi pun akan saya katakan bahwa saya berterimakasih teramat banyak pada Kakak. Namun maaf, inilah jalan yang ingin saya tempuh. Saya sudah terlalu sering merepotkan semua orang, terutama Kakak. Saya bukanlah orang penting. Bahkan sejak diawal pun, saya bukanlah siapa-siapa bagi Kakak. Namun Kakak selalu menyempatkan membaca semua keluh kesah saya, terimakasih. Inilah jalan yang akan saya pilih: Saya ingin berdiri di atas kaki saya sendiri, menggenggam cita-cita sendiri, dan mewujudkannya seorang diri. Serta untuk benar-benar meneguhkan hati saya, untuk waktu yang tidak ditentukan, saya tidak ingin lagi berkeluh kesah pada Kakak. Saya tidak mau lagi bergantung pada orang lain. Sudah cukup. Saya tidak akan bergantung pada orang lain walau karena keterpaksaan ataupun karena keinginan saya. Saya tidak akan membuka email ini. Dan saya harap, kita benar-benar tidak perluberbincang lagi. Maaf, sebenarnya berat untuk mengatakannya. Tetapi, jika saya masih membuka email ini, dan saya bercerita pada Kakak lagi,itu berarti saya belum mandiri. Saya belum bisa hidup sendiri. Saya ingin benar-benar mampu sendiri.
Seribu terimakasih, seribu maaf, saya ucapkan pada Kakak walau saya tidak pernah mengatakan ‘tolong’ satu kalipun.
Semoga, saya benar-benar bisa berdiri di atas kaki saya sendiri.

Adalah kamu,
yang mampu menyelami aku di segala kedalaman rahasia
Tanpa perlu bertutur,
kau buatku banyak bercerita
Hanya dengan tatap mata,
kau menembus dan menulusuri sumur rahasia hati,
yang selama ini terjaga
Kamu,
adalah satu-satunya yang mampu
membuatku membuka segala bahasa jiwa

terima kasih.